
JAKARTA – Menjadi salah satu figur publik dengan pengikut jutaan di media sosial adalah pedang bermata dua bagi Fujianti Utami Putri, atau yang akrab disapa Fuji. Di satu sisi, popularitas membawanya ke puncak kesuksesan finansial, namun di sisi lain, setiap jengkal gerak-geriknya tak luput dari penghakiman massal.
Baru-baru ini, dalam sebuah percakapan mendalam di kanal YouTube Raditya Dika yang tayang pada Kamis (18/12/2025), Fuji memberikan respons menohok terkait label “anak dugem” yang terus disematkan netizen kepadanya. Alih-alih menghindar, adik ipar mendiang Vanessa Angel ini memilih untuk membongkar realita di balik kehidupan malam yang sering dituduhkan kepadanya.
Hobi Membaca Komentar: Antara Keinginan Tahu dan Risiko Mental
Berbeda dengan banyak artis yang memilih menutup mata terhadap komentar negatif, Fuji mengaku dirinya adalah tipe orang yang membaca hampir semua ucapan netizen. Kebiasaan ini membuatnya sangat sadar akan narasi apa yang sedang dibangun publik tentang dirinya.
“Aku tahu apa yang mereka bilang. Salah satunya soal aku yang dibilang party mulu, party mulu,” ungkap Fuji.
Bagi Fuji, label tersebut terasa sangat tidak adil. Ia menjelaskan bahwa kehadirannya di tempat hiburan malam seringkali disalahartikan. Baginya, itu bukan sekadar hura-hura, melainkan bentuk pelepasan penat setelah jadwal kerja yang sangat padat. Ia pun menegaskan bahwa label “anak dugem” yang dipakai netizen sejak tahun lalu hingga sekarang terasa seperti stigma yang dipaksakan.
Realita di Balik “Party”: Mencari Teman, Bukan Kehidupan Malam
Salah satu poin menarik yang disampaikan Fuji adalah alasan di balik keberadaannya di tempat-tempat tersebut. Fuji menyebutkan bahwa lingkaran pertemanannya memiliki pola kerja yang serupa: bekerja dari siang hingga larut malam.
“Kebetulan mereka (teman-temannya) ada di situ. Lingkup kerja kami sama, kerja sampai malam, pagi masih tidur, siang mulai kerja lagi sampai malam lagi,” tuturnya.
Fuji menekankan bahwa ia seringkali hanya ingin mencari teman-temannya untuk sekadar bersosialisasi dan refreshing. Ia merasa butuh ruang untuk melepas stres agar tidak mengalami burnout. Menariknya, ia juga membocorkan bahwa dirinya sebenarnya lebih senang menghabiskan waktu di lingkungan yang akrab dan privat.
“Aku sebenarnya tipe anak rumahan. Kalau bisa di rumah, ya aku di rumah saja. Aku sering main di rumah, atau teman-teman ke rumahku. Aku sering ke rumah Mbak Vio, Kak Er, atau Kak Ayu. Terserah temannya siapa saja, yang penting ada teman di rumah,” jelasnya lagi.
Mengapa Netizen Senang Memberi Label Negatif?
Fenomena yang dialami Fuji mencerminkan bagaimana media sosial bekerja hari ini. Sekali seorang figur publik tertangkap kamera berada di sebuah kelab malam, narasi “anak party” akan terus direproduksi oleh akun-akun gosip hingga menjadi kebenaran tunggal di mata publik.
Menurut analisis psikologi media, netizen cenderung melakukan confirmation bias—hanya mencari bukti yang mendukung pandangan negatif mereka. Meskipun Fuji mengunggah momen bekerja atau di rumah selama 90% waktunya, satu unggahan atau bocoran video saat ia sedang bersantai di tempat hiburan akan menghapus citra positif lainnya.
Fuji pun merasa heran mengapa tagline tersebut seolah tidak pernah basi bagi para netizen. “Cuman aku nggak tahu ya kenapa tagline anak dugem, anak party itu netizen pakai terus sampai sekarang,” keluhnya.
Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tekanan
Menjadi “sasaran empuk” komentar negatif setiap hari tentu bukan hal mudah bagi perempuan seusia Fuji. Pengakuannya di depan Raditya Dika menunjukkan sisi rapuh sekaligus ketangguhan mentalnya. Dengan memilih untuk berbicara jujur, Fuji sedang mencoba mengambil alih kendali atas narasi hidupnya sendiri.
Pesan yang ingin disampaikan Fuji sebenarnya sederhana: ia adalah manusia biasa yang butuh hiburan. Di balik gemerlap lampu kamera dan kesibukannya sebagai brand ambassador berbagai produk, ia adalah sosok yang mendambakan kehangatan rumah dan obrolan santai bersama sahabat di ruang tamu.
Kesimpulan: Menilai Tanpa Mengenal
Kisah Fuji ini menjadi pengingat bagi kita semua sebagai pengguna media sosial. Seringkali apa yang terlihat di layar hanya seperseratus dari kenyataan hidup seseorang. Label “anak dugem” mungkin terdengar remeh bagi netizen, namun bagi orang yang menjalaninya, itu adalah beban moral yang menghalangi publik untuk melihat prestasi dan kerja keras yang telah mereka bangun.
Fuji tetaplah Fuji—seorang pekerja keras yang hanya ingin menikmati masa mudanya dengan caranya sendiri, tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai “anak rumahan” yang mencintai kenyamanan dan kehangatan lingkaran kecilnya.